Perumusan Dasar
Negara Indonesia
Persidangan
BPUPKI untuk merumuskan Undang-Undang Dasar diawali dengan pembahasan mengenai
dasar negara Indonesia Merdeka. Untuk itulah pada kata pembukaannya, Ketua
BPUPKI dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat meminta pandangan para anggota
mengenai dasar negara Indonesia Merdeka tersebut.
Dasar negara
merupakan norma dasar suatu negara. Dasar negara juga sering diartikan sebagai
ajaran yang merupakan hasil pemikiran mendalam mengenai kehidupan termasuk
kehidupan bernegara.
Hasil
pemikiran ini kemudian dijadikan sebagai pedoman dasar yang mengatur kehidupan
bernegara. Dasar negara pada hakikatnya merupakan filsafat negara (Polytical
Philopsophy) yang kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
juga merupakan pandangan hidup suatu bangsa dan negara.
Pancasila
sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas
dan telah bersifat final. Hal ini kembali ditegaskan dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998
tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai
Dasar Negara jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi
dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002. Selain itu Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil
kesepakatan bersama para Pendiri Bangsa yang kemudian sering disebut sebagai
sebuah “Perjanjian Luhur” bangsa Indonesia.
Namun dibalik itu terdapat
sejarah panjang perumusan sila-sila Pancasila dalam perjalanan ketata negaraan
Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan
Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi
yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan
pencetus istilah Pancasila. Artikel ini sedapat mungkin menghindari polemik dan
kontroversi tersebut. Oleh karena itu artikel ini lebih bersifat suatu
"perbandingan" (bukan "pertandingan") antara rumusan satu
dengan yang lain yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang berbeda. Penempatan
rumusan yang lebih awal tidak mengurangi kedudukan rumusan yang lebih akhir.
Dari kronik sejarah setidaknya
ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila
yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama.
Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam
Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit
Presiden 5 Juli
1959), Versi Berbeda, dan
Versi populer yang berkembang di masyarakat.
1. Rumusan I: Moh. Yamin, Mr.
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang
dilaksanakan pada 29 Mei
– 1 Juni
1945 beberapa anggota
BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan
rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan.
Pada
tanggal 29 Mei
1945 Mr. Mohammad
Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI
baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
v Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian
pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara
yaitu:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri ke-Tuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
v Rumusan Tertulis
Selain usulan lisan Muh Yamin
tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan
tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan
kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kebangsaan Persatuan Indonesia
- Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2. Rumusan II: Soekarno, Ir.
Selain Muh Yamin, beberapa
anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno.
Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir
Pancasila. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan
calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno
pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah
berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa
(Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno
di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.
v Rumusan Pancasila:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
- Mufakat,-atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial
- ke-Tuhanan yang maha esa
v Rumusan Trisil:
- Socio-nationalisme
- Socio-demokratis
- ke-Tuhanan
v Rumusan Ekasil :
- Gotong-Royong
3.Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah
dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni
1945. Selama reses antara 2 Juni
– 9 Juli
1945, delapan orang
anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan
menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada 22 Juni
1945 panitia kecil
tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal.
Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian
dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan") yang bertugas untuk
menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan
negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki
bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara
sekuler
dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama.
Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan
tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”. Dokumen ini
pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh
Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat
dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan
pernyataan kemerdekaan/proklamasi/declaration of independence). Rumusan ini
merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri
Bangsa".
v Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada:
ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
v Alternatif pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan
kalimat rancangan dasar negara pada Piagam
Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan
dalam BPUPKI
sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir
dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,
[A] dengan
kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar[:]
[A.1]
kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2]
persatuan Indonesia, dan
[A.3]
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan[;]
serta
[B] dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
v Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
v Rumusan populer
Versi populer rumusan
rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
4. Rumusan IV: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang
berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”
(baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10
dan 14 Juli 1945. Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah
dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of
Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan
Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang
diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda
dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub
anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang
merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas.
v Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada:
ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
v Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
5. Rumusan V: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang
yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal
dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang)
menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal
17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa
Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis,
Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara. Untuk
menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui
wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul
penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka
menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai
sebuah “emergency exit” yang
hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18
Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu
dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar”
dari Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf
keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan
nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang
nantinya dikenal dengan UUD 1945.
v Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada:
ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
v Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
6. Rumusan VI: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia
oleh NICA
menjadikan wilayah Republik Indonesi semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada
akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta
(RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan
pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya
menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18
Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai
sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh
negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat
dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember
1949 oleh enam belas
negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
v Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan
sosial.”
v Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
7. Rumusan VII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri,
negara itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara
bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta.
Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI
Yogyakarta, NIT, dan NST, Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI
Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan
negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara.
Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang
Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal
15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf
keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.
v Rumusan kalimat :
“…, berdasar pengakuan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan
sosial, …”
v Rumusan dengan penomoran (utuh) :
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
8. Rumusan VIII: UUD 1945
Kegagalan Konstituante
untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15
Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli
1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan
Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD
yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia
menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan
Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang
digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima
oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan
kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya,
diantaranya:
- Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
- Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
v Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
v Rumusan dengan penomoran (utuh) :
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
9. Rumusan IX: Versi Berbeda
Selain mengutip secara utuh
rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda.
Rumusan ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
v Rumusan :
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial.
10.Rumusan X: Versi Populer
Rumusan terakhir yang akan
dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh
masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan
diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan
ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan
kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat
terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat
dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
v Rumusan :
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar