PENULISAN
SEJARAH (HISTORIOGRAFI) INDONESIA
A.
Beberapa Pengertian Umum Penulisan Sejarah (Historiografi)
Sejarah bukan semata-mata rangkaian
fakta belaka, tetapi sejarah adalah sebuah cerita. Cerita yang dimaksud adalah
penghubungan antara kenyataan yang sudah menjadi kenyataan peristiwa dengan
suatu pengertian bulat dalam jiwa manusia atau pemberian tafsiran /interpretasi
kepada kejadian tersebut. Dengan kata lain penulisan sejarah merupakan
representasi kesadaran penulis sejarah dalam masanya. Secara umum dalam metode
sejarah, penulisan sejarah (historiografi) merupakan fase atau langkah akhir
dari beberapa fase yang biasanya harus dilakukan oleh peneliti sejarah.
Penulisan sejarah (historiografi) merupakan cara penulisan, pemaparan, atau
pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.
Pengkisahan sejarah itu jelas
sebagai suatu kenyataan subyektif, karena setiap orang atau setiap generasi
dapat mengarahkan sudut pandangannya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan
berbagai interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau
orientasinya. Oleh karena itu perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa
masa lampau, yang pada dasarnya adalah obyektif dan absolut, pada gilirannya
akan menjadi kenyataan yang relatif.
Bagi penulis sejarah ataupun
sejarawan akademis yang menganut relativisme historis, sikap netral
dalam pengkajian dan penulisan sejarah merupakan hal yang sulit direalisasikan.
Alasannya seperti yang dinyatakan Al-Sharqawi bahwa “pengetahuan sejarah itu pada
dasarnya adalah mengalihkan fakta-fakta pada suatu bahasa lain,menundukkannya
pada bentuk-bentuk, kategori-kategori dan tuntutan khusus”. Proses pemilihan
unsur-unsur tertentu mengenai perjuangan seorang tokoh, umpamanya dilakukan
penulis biografi dengan mendasarkan diri pada interpretasi historis atas
peristiwa-peristiwa yang dikehendakinya, lalu disusunlah kisah baru.
Demikianlah kecenderungan
subyektivitas itu selalu mewarnai bentuk-bentuk penulisan sejarah. Hal
ini karena secara umum dapat dikatakan bahwa kerangka pengungkapan atau
penggambaran atas kenyataan sejarah itu ditentukan oleh penulis sejarah atau
sejarawan akademis, sedangkan kejadian sejarah sebagai aktualitas itu juga
dipilih dengan dikonstruksi menurut kecenderungan seorang penulis.
Selain alasan praktis diatas,
ternyata dimungkinkan lebih banyak lagi faktor yang menyebabkan terjadinya
subyektivitas. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa:
“Ada faktor yang dipandangnya
sebagai kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu:1)sikap
pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu, 2) sejarawan terlalu percaya
kepada penukil berita sejarah, 3) sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa
yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan
keliru, 4) sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber
berita, 5) ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian
yang sebenarnya, 6) kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada
penguasa atau orang berpengaruh, dan 7) sejarawan tidak mngetahui watak
berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban”.
Bila ketujuh alasan tersebut atau
sebagian dari padanya mewarnai karya sejarah dari suatu generasi, maka generasi
sejarawan yang lain juga akan terpengaruhi dengannya. Karena setiap
telaah historis, baik dari masa silam, masa kini, atau masa depan, selalu
bersifat subyektif
Kepribadian sejarawan tidak dapat
disangkal lagi merupakan faktor dominan yang dapat menjuruskan penulisan
sejarah menjadi subyektif, maka seluruh kesadaran sejarawan sesungguhnya
terselimuti oleh sistem kebudayaan. Sartono Kartodirdjo mendefinisikannya:
“Sebagai subyektivitas kultural,
yakni sikap atau pandangan penulis sejarah itu berhubungan dengan konteks
kebudayaan masyarakatnya. Individu sejarawan sebagai anggota masyarakat akan lebur
dalam proses sosialisasi, sehingga seluruh pikiran, perasaan, dan kemauannya
terpola menurut struktur etis, estetis, dan filosofis yang berlaku dalam
masyarakat”.
Subyektivitas kultural itu tercakup
pula subyektivitas waktu, karena kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam waktu
tertentu.
Telah menjadi istilah umum di
kalangan ahli sejarah, seorang sejarawan merupakan anak zamannya dan bersama
dengan orang sezaman, tetapi iapun menerima nilai-nilai yang dianut pada
zamannya itu. Disinyalir subyektivitas waktu akan terasa lebih sulit untuk
diatasi.
Berdasarkan tinjauan mengenai
subyektivitas sejarah diatas, dapat disebutkan bahwa setiap hasil penulisan
sejarah tidak seluruhnya relatif, karena dalam karya seperti itu dapat pula
diperoleh pula hal-hal yang absolut, yakni fakta-fakta yang tidak diragukan
lagi kesahihannya. Penunjukkan fakta keras atau fakta yang telah menjadi
kebenaran umum dan tidak diragukan lagi kebenarannya.
Bila kecenderungan pribadi pangkal
terjadinya subyektivitas, sebenarnya tidak selalu merupakan penghalang bagi
obyektivitas, sebab sejarawanpun akan mampu mengetahui perasaan-perasaan
subyektif dalam dirinya dan ia akan selalu berusaha untuk berhati-hati agar
tidak terjerumus kedalam subyektivitas tersebut. Pengetahuan sejarah yang obyektif
itu justru timbul bila terdapat beberapa pendapat antara para sejarawan.
Pernyataan mereka yang berbeda mengenai peristiwa sejarah yang sama, belumlah
merupakan perbedaan pendapat, sebab peristiwa sejarah bisa dilihat dari
berbagai perspektif.
Atas dasar pertimbangan diatas,
nyatalah bahwa penafsiran terhadap peristiwa sejarah akan beragam didalam
historiografi, yang barangkali jumlahnya sebanyak kepala penulis sejarah itu
sendiri.
B.
Sejarah Singkat Perkembangan Penulisan Sejarah (Historiografi) Indonesia
Sejarah dari penulisan sejarah
(historiografi) akan dapat menyoroti isi filosofis teoretis dari penelitian dan
penulisan sejarah, membuka metode penggarapan bahan sejarah dan persentasi,
ide-ide yang mengikat fakta-fakta sebagai kesatuan yang bermakna,cara menilai
dan menginterpretasikan,dan yang sangat penting adalah pandangan hidup
sipenulis (sejarawan). Penulisan sejarah (historiografi) berbeda-beda menurut
negerinya, masanya, dan kepribadian dari sejarawan. Mempelajari sejarah dari
penulisan sejarah (historiografi) itu tidak mengutamakan segi-segi isi faktual
dan proses sejarah, tetapi lebih memusatkan perhatian terhadap pikiran-pikiran
sejarah dalam hal kultural, sehingga mempertinggi kemampuan kita membuat
pandangan dan perbaikan serta penilaian artinya. Kemudian yang jelas juga
adalah bahwa hal itu akan membuat sejarawan lebih kritis terhadap dirinya
sendiri dan lebih memberi kemungkinan untuk mengobyektivitaskan
penulisannya.Dengan senantiasa mengingat praktek sejarawan dalam masa yang lampau
kita dapat memandang perkembangan historiografi dengan cara pandang yang benar
dan tepat, sehingga akan dapat kita tentukan derajat kesadaran diri dari
sejarawan.
Dalam perkembangan penulisan sejarah
(historiografi) di Indonesia,beberapa corak historiografi cukup menonjol, yaitu
historiografi tradisional, historiografi kolonial dan historiografi nasional.
Historiografi tradisional cenderung masih didominasi oleh aspek magis
religius dan oknum pengkisahnya tidak selalu diketahui secara pasti, kisah
sejarah dalam masyarakat pada masa itu adalah milik kolektif. Hal ini
membuktikan bahwa “historiografi adalah ekspresi kultural dan pantulan
keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang menghasilkannya. Hal
itu tidak berarti mengingkari bahwa karya sejarah merupakan hasil rekonstruksi
sejarawan. Penghayatan kultural terhadap masyarakat menuntut masyarakat untuk
membuat rekonstruksi kisah yang dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa mereka
berada. Historiografi kolonial menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi
tekanan pada aspek politis, ekonomis, dan institusional. Hal ini merupakan
perkembangan secara logis dari situasi kolonial dimana penulisan sejarah
terutama mewujudkan sejarah dari golongan yang dominan beserta
lembaga-lembaganya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat
mitos dari dominasi itu,dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi
daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan penjajakan masyarakat
serta kebudayaannya. Sejarah perang kolonial menguraikan pelbagai operasi
militer secara mendetail, sedang bangsa Indonesia hanya disebut sebagai objek
dari aksi militer Belanda, tidak diterangkan organisasi intern dari
pemberontakan siapa, dan termasuk golongan apakah pemberontak itu, serta apakah
yang sesungguhnya menjadi tujuannya. Ketiga corak historiografi diatas
dianggap belum bertitik tolak dari kepentingan ilmiah. Bukan proses
pengkisahan sejarah yang mencari kebenaran berdasarkan landasan metodologis
yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ketiganya didasarkan atas
kepentingan legitimasi kultural dan politik, yaitu pengkisahan yang kadang
-kadang mengarah pada pembenaran. Pembenaran terhadap identitas dan jati
dirinya sebagai suatu komunitas. Ketiga corak historiografi tersebut cenderung
untuk menunjukkan unsur kejayaan dan kebesaran dari struktur kekuasaan yang
dominan.
Suatu periode baru dalam
perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah
yang kritis. Perkembangan metode sejarah ilmiah di Indonesia sebenarnya tidak
langsung terjadi dalam bidang sejarah sendiri. Untuk dapat melakukan kritik
terhadap sumber-sumber sejarah diperlukan ilmu bantu. Karya Husein
Djajadiningrat, Critische Beschouwingen Van De Sejarah Banten merupakan
hasil studi yang menggunakan suatu karya historiografi tradisional sebagai
obyek sekaligus sebagai sumber sejarah. Beliau dapat dicatat sebagai putra
Indonesia pertama yang menggunakan prinsip-prinsip metode kritis sejarah. Dan
setelah proklamasi, terdapat upaya yang dominan untuk melihat sejarah
dari aspek nasional, memandang sejarah dari masyarakat Indonesia sendiri.
Sebagai konsekuensi dari pantulan kesadaran kultural, maka wajar bila
historiografi yang berkembang adalah sejarah ideologis. Suatu sejarah yang
menanamkan suatu nilai-nilai terutama semangat nasionalisme, heroisme, dan
patriotisme. Dalam perkembangaannya historiografi Indonesia modern, dimulai
sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia
pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai sebagai titik
tolak kesadaran sejarah baru. Pada seminar tersebut membahas tiga hal yang
dianggap sangat penting ketika itu, hal tersebut antara lain fisafat sejarah
nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Perdebatan
berlanjut sampai pada tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada
tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana
seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret,
seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi
sejarah. Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik,
kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan
historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar
tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang
yang ditulis, tetapi kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit
berproduksi.
Sejarawan akademislah satu-satunya
kelompok yang dengan sadar menyebut diri mereka sebagai sejarawan, dan mendapat
pengakuan demikian. Mereka inilah yang diundang dalam seminar-seminarsejarah,
dan kegiatan lain yang mengandung tujuan sejarah. Kegiatan mereka yang luas,
bukan saja dalam penulisan, tetapi terlibat juga dalam pengajaran, penelitian,
dan pengabdian masyarakat.
PERKEMBANGAN
PENULISAN SEJARAH DI INDONESIA-
Sebagaimana
telah diuraikan di atas, bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah.
Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya naskah yang bersebaran di
daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut merupakan bagian awal dari
perkembangan penulisan sejarah di Indonesia.
Awal
perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan
sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa sebutan untuk naskah-naskah yaitu babad,
hikayat, kronik, tambo, dan lain-lain. Bentuk penulisan sejarah pada
naskah-naskah tersebut, sebagaimana telah dikemukakan, termasuk dalam kategori
historiografi tradisional. Sebutan historiografi tradisional, untuk
membedakannya dengan historiografi modern. Historiografi modern sudah lebih
dahulu berkembang di Barat. Ciri utama historiografi modern dan yang membedakan
dengan historiografi tradisional adalah penggunaan fakta. Sebagaimana telah
dikemukakan di atas bahwa historiografi tradisional tidak terlalu mementingkan
kebenaran fakta, sedangkan historiografi modern sangat mementingkan fakta.
Sebagaimana
telah dikemukakan dalam bab I bahwa sejarah mengungkapkan tentang kenyataan.
Kenyataan dalam sejarah adalah fakta. Jadi, apabila sejarah hanya sekedar
cerita yang tidak memiliki fakta, berarti itu bukan suatu kenyataan, itu
hanyalah sebuah fiksi belaka. Salah satu ciri bahwa fakta itu benar ialah
sumber-sumber yang dijadikan rujukan cerita itu harus masuk akal.
Uraian
historiografi tradisional yang bersifat fiksi, disebabkan oleh alam pikiran
masyarakat yang belum bersifat rasional dan objektif. Uraian historiografi
tradisional merupakan gambaran dari pikiran masyarakat yang magis-religius.
Maksud dari uraian ini yaitu isi dari naskah-naskah lama sangat dipengaruhi
oleh uraian unsur-unsur kepercayaan masyarakat setempat di mana naskah itu
dibuat. Pada masyarakat yang masih tradisional, terdapat
kepercayaan-kepercayaan yang memandang bahwa kehidupan manusia sangat
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar manusia. Kekuatan-kekuatan itu dapat
berupa alam, para dewa, benda-benda yang dianggap sakral, dan lain-lain.
Manusia tidak mampu mengubah diri oleh dirinya sendiri.
Kedudukan
manusia dalam suatu perubahan lebih berperan sebagai objek, bukan subjek atau
penentu. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat cerita yang bersumber dari
historiografi tradisional tentang asal usul daerah tersebut. Di dalam
sumber-sumbertersebut misalnya, diceritakan bahwa sebelum terbentuknya suatu
tatanan kehidupan yang teratur dalam daerah tersebut, keadaannya krisis atau
serba tidak menentu. Dalam keadaan yang demikian, maka sang dewa menurunkan
utusannya untuk memperbaiki keadaan krisis. Utusan dewa itu kemudian menikah
dengan wanita yang ada di daerah tersebut. Setelah turunnya utusan dewa maka
keadaan di daerah itu menjadi baik dan mulailah tersusun suatu pemerintahan
atau kerajaan. Hasil perkawinan antara utusan dewa dengan wanita yang
dinikahinya ini kemudian menjadi pewaris atau silsilah penguasa kerajaan. Dalam
masyarakat di Sulawesi Selatan, contoh cerita tersebut merupakan mitos
Tomanurung.
Gambar 2.4 Bagian Teks Hikayat Perang Sabil Contoh Bentuk
Historiografi Tradisional
Berdasarkan
contoh cerita historiografi tersebut, terlihat bagaimana manusia tidak menjadi
penentu dalam suatu cerita sejarah. Terbentuknya asal usul suatu daerah
berdasarkan cerita historiografi tradisional, bukan ditentukan oleh manusia.
Penentunya adalah dewa. Ketika dewa menurunkan utusannya ke muka bumi, maka
terbentuklah suatu tatanan masyarakat.
Historiografi
di Indonesia mengalami perkembangan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu,
historiografi Indonesia diawali dengan perkembangan historiografi tradisional.
Bentuk historiografi tradisional tersebut adalah naskah kuno sebagaimana yang
telah dibahas. Setelah historiografi yang tradisional, kemudian berkembang
penulisan sejarah modern.
Penulisan
sejarah yang moderen diawali dengan penulisan sejarah penjajahan Belanda di
Indonesia. Penulisan sejarah ini dilakukan oleh para ahli sejarah yang
merupakan suatu team. Team penulis sejarah ini dipimpin oleh Dr. FW. Stapel.
Buku yang ditulis oleh team ini berjudul Geschedenis van Nederlandsch
Indie (Sejarah Hindia Belanda).
Pendekatan
yang digunakan oleh Stapel dalam menulis buku tersebut sangat diwarnai
para penulisnya. Buku tersebut pada dasarnya tidak banyak menceritakan tentang
peran bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan, bangsa Indonesia pada saat itu
sedang dijajah. Buku ini lebih tepat sebagai buku sejarah penjajahan orang
Belanda di Indonesia. Penjajah Belanda merupakan subjek atau pemeran utama
dalam cerita sejarah. Aspek-aspek yang positif lebih banyak ditekankan pada
orang Belanda, sedangkan bangsa Indonesia hanyalah sebagai pelengkap penderita.
Penulisan sejarah yang demikian disebut dengan pendekatan yang neerlandosentris,
yaitu penulisan sejarah yang dilihat dari peran orang Belanda (penjajah).
Tokoh-tokoh penting dari orang Belanda dianggap sebagai orang besar, sedangkan
tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang oleh bangsa Indonesia dianggap sebagai
pahlawan, dianggap sebagai orang yang jelek, orang jahat, dan berbagai citra
negatif lainnya. Misalnya diceritakan bagaimana kompeni merasa kehilangan besar
ketika J.P. Coen seorang Gubernur Jenderal meninggal. Dia dikuburkan
dengan acara penguburan yang besar. Ketika akan dikuburkan, rakyat Betawi
mengusungnya. Contoh sebaliknya adalah cerita tentang Sultan Banten.
Diceritakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang yang cerdik, bijaksana,
dan taat menjalankan ajaran agamanya (Islam). Tetapi dibalik itu semua
diceritakan pula dia memiliki kelakuan yang bengis, hatinya jelek, selamanya
memusuhi kompeni dan ingin memajukan Banten dan membinasakan Betawi (Jakarta).
Buku
oleh Stapel tersebut, bukanlah merupakan sejarah Indonesia, tetapi merupakan
suatu penulisan sejarah penjajahan Belanda atau sejarah Belanda di negeri
jajahan. Karena penulisan sejarah yang lebih menampilkan orang Belanda, maka
orang Belanda (penjajah) menjadi subjek dalam cerita sejarah, sedangkan bangsa
Indonesia sebagai objek dari cerita sejarah. Bangsa Indonesia dikenal dengan
sebutan kaum pribumi. Sebutan ini lebih menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
bukan sebagai bangsa, tidak memiliki suatu negara. Kedudukan bangsa Indonesia
sebagai pelayan orang Belanda.
Gambar 2.5 Buku karya Stapel Geschiedenis Nederlandsch Van
Indie, contoh buku sejarah yang bersifat Neerlandosentris
Semangat
kebangsaan memberikan warna terhadap penulisan sejarah Indonesia. Penulisan
sejarah yang neerlandosentris dalam pandangan pada penulis sejarah Indonesia
kuranglah berkenan di mata bangsa Indonesia. Timbul kritikan terhadap penulisan
sejarah yang neerlandosentris. Hal yang perlu dilakukan sebagai bentuk
nasionalisme dalam historiografi adalah penulisan sejarah yang dilihat dari
kaca mata bangsa Indonesia. Dalam penulisan sejarah yang demikian, bangsa
Indonesia harus ditempatkan sebagai tokoh sentral, pemeran utama. Bangsa
Indonesia tidak ditampilkan sebagai figur yang negatif.
Model
penulisan sejarah yang demikian dikenal dengan sebutan penulisan sejarah yang
indonesiasentris. Penulisan sejarah model ini merupakan bentuk dari
dekolonisasi terhadap historiografi, artinya pelepasan penjajahan dalam
penulisan sejarah. Kesadaran tentang pentingnya penulisan sejarah yang
indonesiasentris muncul sejak awal kemerdekaan. Hal ini diperlukan khususnya
bagi pengajaran sejarah di sekolah. Sudah sewajarnyalah, pada awal kemerdekaan
semangat nasionalisme masih begitu kental. Semangat nasionalisme tercermin pula
dalam pengajaran sejarah. Untuk menanamkan semangat nasionalisme melalui
pelajaran sejarah, sudah barang tentu diperlukan adanya penulisan Sejarah
Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan ialah terbitnya buku-buku pelajaran
sejarah dengan judul “Sejarah Indonesia”. Walaupun demikian, isi buku itu masih
berbau neerlandosentris, sebab buku-buku tersebut masih merujuk pada buku
Stapel.
Pada
masa pendudukan Jepang, sebenarnya sudah ada istilah “Sejarah Indonesia”.
Sebelum tahun 1942 pelajaran sejarah yang ada yaitu Sejarah Hindia Belanda (Gechiedenis
van Nederlands-Indie) dan Sejarah Tanah Hindia (Indische Gechiedenis). Pendudukan
Jepang bersikap anti Barat termasuk Belanda, sehingga buku yang diterbitkan
oleh Belanda pun dilarang, termasuk penulisan sejarah penjajahan Belanda.
Buku-buku sejarah yang diterbitkan mendapatkan pengawalan yang ketat dari
pemeritahan pendudukan Jepang. Istilah “Sejarah Tanah Hindia” (Indische
Geschiedenis) diubah menjadi “Sejarah Indonesia”.
Sebagaimana
telah dikemukakan, sejak awal kemerdekaan muncul adanya keinginan untuk menulis
kembali sejarah Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya kekecewaan terhadap
buku-buku pelajaran yang ada di sekolah ketika itu. Pada umumnya buku-buku yang
digunakan, masih merujuk kepada buku Stapel, walaupun diberi judul “Sejarah
Indonesia”. Buku-buku pelajaran yang ada tidak memenuhi penulisan sejarah yang
indonesiasentris.
Penulisan
sejarah yang bersifat indonesiasentris harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.
- Sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam”. yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pemeran utama.
- Penjelasan sejarah Indonesia diuraikan secara luas, dengan uraian yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
- Erat berhubungan dengan kedua pokok di atas, perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan atau ksatria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongangolongan lainnya.
- Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintesis, yang menggambarkan proses perkembangan ke arah kesatuan geo-politik seperti yang kita hadapi dewasa ini, maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
Untuk
memecahkan persoalan penulisan sejarah yang indonesiasentris, maka diadakanlah
Seminar Sejarah Nasional I pada tanggal 14 sampai dengan 18 Desember 1957 di
Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan tanggal 13 Maret 1957 No.28201/5. Topik yang
dibicarakan dalam seminar tersebut meliputi:
- Konsep filosofis sejarah nasional;
- Periodisasi sejarah Indonesia;
- Syarat penulisan buku pelajaran sejarah nasional Indonesia;
- Pengajaran Sejarah Indonesia di sekolah-sekolah;
- Pendidikan Sejarawan;
- Pendidikan dan pengajaran bahan-bahan sejarah.
Pemerintah
memiliki kepentingan dalam penyelenggaraan seminar tersebut. Bangsa Indonesia
saat itu belum lama merdeka. Untuk membangun karakter kebangsaan pada diri
masyarakat Indonesia adalah melalui pengajaran sejarah. Jadi, bagi pemerintah
penulisan sejarah yang indonesiasentris merupakan suatu keharusan.
Pembicaraan
yang berkembang pada seminar ini menurut Moh. Ali, forum Seminar Sejarah
Nasional belum mengarah pada penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia sebagai
Sejarah Nasional. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pada saat itu di Indonesia
belum banyak ahli sejarah yang benar-benar berlatar belakang pendidikan sejarah
atau sejarawan. Dalam forum tersebut, pembicaraan yang lebih menonjol yaitu
pemikiran mengenai mungkin tidaknya penyusunan suatu filsafat Sejarah Nasional.
Pembicaraan tentang filsafat sejarah nasional banyak dibicarakan oleh Moh.
Yamin dan Sujatmoko.
Pentingnya
penulisan sejarah yang indonesiasentris tidak selesai setelah seminar sejarah
yang pertama di Yogya. Pembicaraan hal tersebut terus bergulir. Untuk
mewujudkan penulisan sejarah yang indonesiasentris, pemerintah kemudian membuat
suatu team yang bertugas melaksanakan penulisan kembali Sejarah Indonesia. Team
ini dibentuk pada tahun 1963, akan tetapi team ini tidak dapat melaksanakan
tugasnya dikarenakan terjadinya ketegangan sosial dan krisis politik negeri
kita pada saat itu.
Semangat
penulisan sejarah yang indonesiasentris muncul kembali dalam Seminar Sejarah
Nasional Kedua di Yogyakarta pada tahun 1970. Seminar ini relatif lebih
berkualitas dibandingkan dengan seminar yang pertama. Hal ini dikarenakan mulai
adanya generasi baru sejarawan yang mempresentasikan kertas kerjanya. Pokok
pembicaraan sudah mulai mengarah kepada periodisasi Sejarah Indonesia, yaitu
mulai dari periode prasejarah sampai dengan periode yang paling modern.
Dalam
seminar yang kedua ini juga muncul perkembangan pemikiran, yaitu perlunya
penulisan buku sejarah untuk digunakan di sekolah. Keperluan ini sangat
mendesak. Untuk melaksanakan aspirasi yang berkembang dalam seminar sejarah
yang kedua itu, akhirnya pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dengan SK. No.0173/1970 mengangkat Panitia Penyusunan Buku Standard Sejarah
Nasional Indonesia berdasarkan Pancasila yang dapat digunakan di Perguruan
Tinggi dan sekaligus akan dijadikan bahan dari buku teks sejarah untuk sekolah
dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas. Panitia ini berhasil
menyusun buku teks Sejarah Nasional sebanyak enam jilid.
Buku
tersebut disusun dengan periodisasi sebagai berikut.
- Jilid I, zaman prasejarah di Indonesia.
- Jilid II, zaman kuno (awal masehi sampai 1600 M).
- Jilid III, zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (1600 M-1800 M).
- Jilid IV, abad kesembilan belas (1800 M-1900 M).
- Jilid V, zaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda (1800-1900 M)
- Jilid VI zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia (1942-sekarang).
Kegiatan
seminar tidak berhenti sampai seminar sejarah yang kedua. Dalam beberapa waktu
kemudian, diadakan kembali Seminar Sejarah Nasional. Seminar Sejarah Nasional
yang ketiga di Jakarta pada tanggal 10 sampai dengan 15 November 1981, dan
Seminar Sejarah Nasional yang keempat di Jogyakarta pada tanggal 16 sampai
dengan 19 Desember 1985. Kongres Nasional Sejarah yang terakhir dilaksanakan di
Jakarta dari tanggal 14-17 November 2006. Kongres sejarah atau seminar yang
dilaksanakan itu pada dasarnya merupakan upaya untuk menemukan kembali
penulisan-penulisan sejarah Indonesia, baik dari aspek sumber maupun
metodologi.
Gambar 2.6 Buku Sejarah Nasional Indonesia merupakan upaya
untuk menulis sejarah Indonesia yang indonesiasentris
Berdasarkan
uraian di atas, kita bisa melihat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki
perkembangan dalam penulisan sejarah. Perkembangan penulisan itu mulai dari
yang magis-religius sampai pada saintifis. Magis religius merupakan ciri
perkembangan historiografi tradisional, sedangan saintifis perkembangan
penulisan sejarah lebih bersifat kritis. Selain itu, perkembangan penulisan
sejarah di Indonesia juga sangat ditentukan oleh alam pikiran bangsa Indonesia
dalam memahami perubahan dirinya dan lingkungan di sekitarnya.
PERKEMBANGAN PENULISAN SEJARAH
INDONESIA
Penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia umumnya digolongkan kedalam tiga tahapan perkembangan yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern Indonesia. Dan setiap historiografi tersebut masing-masing memililiki ciri-ciri yang berbeda dan jenis yang dihasilkanpun berbeda.
Historiografi Tradisional
Penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia umumnya digolongkan kedalam tiga tahapan perkembangan yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern Indonesia. Dan setiap historiografi tersebut masing-masing memililiki ciri-ciri yang berbeda dan jenis yang dihasilkanpun berbeda.
Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 17 M.
Hasil tulisan sejarah dari masa ini sering disebut sebagai naskah.
Contoh Historiografi tradisional:
Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Diponegoro, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Silsilah Raja Perak, Hikayat Tanah Hitu, Kronik Banjarmasin, dsb.
Adapun ciri-ciri historiografi tradisional yaitu:
· Penulisannya bersifat istana sentris yaitu berpusat pada keinginan dan kepentingan raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa. Menyangkut raja dan kehidupan istana.
· Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan permintaan sang raja.
· Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali anakronitis (tidak cocok)
· Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
· Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).
· Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
· Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
· Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja.
Banyak sejarawan yang awalnya sampai tahun 1960-an tidak mau menggunakan naskah-naskah tersebut sebagai sumber atau referensi karya ilmiah. Akan tetapi, pada perkembangannya karena melalui berbagai penelitian membuktikan bahwa bayak hal yang ditulis dalam naskah tradisional tersebut dapat terungkap pula dalam sumber-sumber sejarah yang lain maka mereka mulai menganggap bahwa naskah/ historiografi tradisional tersebut dapat pula dijadikan sumber atau acuan sejarah.
Merupakan
penulisan sejarah dari zaman Hindu sampai masuk dan berkembangnya Islam.
Ciri-ciri penulisan sejarah tradisional antara lain, sebagai berikut:
1) Penulisan bersifat istana sentris, yaitu berpusat pada keinginan dan kepentigan raja.
2) Bersifat religio magis, yaitu di hubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal gaib.
3) Bersifat religio sentris (kedaerahan)
4) Raja atau pemimpin dianggap menyukai kekuatan gaib dan charisma (bertuah,sakti)
1) Penulisan bersifat istana sentris, yaitu berpusat pada keinginan dan kepentigan raja.
2) Bersifat religio magis, yaitu di hubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal gaib.
3) Bersifat religio sentris (kedaerahan)
4) Raja atau pemimpin dianggap menyukai kekuatan gaib dan charisma (bertuah,sakti)
Historiografi Kolonial
Ada pada abad 17-abad 20 M.
Historiografi kolonial merupakan historiografi warisan kolonial dan penulisannya digunakan untuk kepentingan penjajah.
Ciri-cirinya:
Tujuannya untuk memperkuat kekuasaan mereka di Indonesia. Jadi disusun untuk membenarkan penguasaan bangsa mereka terhadap bangsa pribumi (Indonesia). Sehingga untuk kepentingan tersebut mereka melupakan pertimbangan ilmiah.
Selain itu semuanya didominasi untuk tindakan dan politik kolonial.
Historiografi kolonial hanya mengungkapkan mengenai orang-orang Belanda dan peristiwa di negeri Belanda serta mengagung-agungkan peran orang Belanda sedangkan orang-orang Indonesia hanya dijadikan sebagai objek.
Historiografi kolonial memandang peristiwa menggunakan sudut pandang kolonial. Sifat historiografi kolonial eropasentris.
Ditujukan untuk melemahkan semanangat para pejuang atau rakyat Indonesia.
Merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan. Penulisan sejarah ini pada saat Indonesia berada di bawah pemerintahan kolonial sehingga penulisan sejarah digunakan untuk kepentingan penjajah.
Ciri-ciri penulisan sejarah kolonial antara lain:
1) bersifat Eropa sentries atau Belanda sentries,
2) orang Indonesia hanya dijadikan objek sejarah,
3) tokoh-tokoh sejarah merupakan orang-orang Belanda, dan
4) permasalahan yang di bahas adalah aktivitas bangsa Belanda serta pemerintahan colonial
Seperti contohya: Orang Belanda menyebut ”pemberontakan” bagi setiap perlawanan yang dilakukan oleh daerah untuk melawan kekuasaan Belanda/ kekuasaan asing yang menduduki tanah airnya. Oleh Belanda itu dianggap sebagai ”perlawanan terhadap kekuasaannya yang sah sebagai pemilik Indonesia”. Seperti Perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro, Belanda menganggap itu sebagai ”Pemberontakan Diponegoro”.
Telah ada upaya untuk melakukan kritik terhadap beberapa tulisan orang Belanda seperti tulisan Geschiedenis van Nederlandsche-Indie (Sejarah Hindia Belanda) oleh Stapel yang dikritik J.C van Leur. Salah satu ungkapannya”jangan melihat kehidupan masyarakat hanya dari atas geladak kapal saja”, artinya jangan menuliskan masyarakat Hindia hanya dari sudut penguasa saja dengan mengabaikan sumber-sumber pribumi sehingga peranan pribumi tidak nampak sementara yang ada hanyalah aktivitas bangsa Belanda di Hindia.
Tetapi justru pendapat Stapel yang tenar di kalangan masyarakat Indonesia, salah satu pendapatnya yang masih dipercaya dan melekat dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia adalah bahwa bangsa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun (1595-1545). Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia dijajah sejak tahun 1595 sewaktu Cornelis de Houtman berangkat dari negeri Belanda untuk mencari pulau penghasil rempah-rempah di dunia Timur. Dia sampai di Indonesia tahun 1596. Indonesia masih mengalami kekuasaan VOC (1602-1619), Inggris (1811-1816), Van den Bosh (1816-1830), Penghapusan Tanam Paksa(1830-1870), Liberalisme (1870-1900), Politik Etis (1900-1922), Sistem Administrasi Belanda (1922-1942), Jepang (1942-1945).
Historiografi Modern Indonesia/ historiografi nasional
Ada pada abad 20 M- sekarang. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia.
Ditandai dengan:
Ø Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ø Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
Ø Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial.
Ø Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama.
Merupakan penulisan sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dari sudut pandang bangsa Indonesia.
Ciri-ciri penulisan sejarah nasional antara lain:
1) bersifat Indonesia sentries,
2) sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia,
3) mengandung character and nation-bulding (pembangunan karakter bangsa), dan
4) disusun oleh orang-ornag atau penulis-penulis Indonesia sendiri.
Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ”Seminar Nasional Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan sebuah buku sejarah nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku referensi.
Oleh karena itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:
1. Sebuah penulisan yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari eropasentris menjadi indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal baru yang sebelumnya belum sempat terungkap.
2. Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis)
3. Menggunakan pendekatan multidimensional.
Caranya yaitu dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial untuk menjelaskan kejadiaan sejarah sesuai dengan dimensinya dengan menggunakan sumber-sumber yang lebih beragam daripada masa sebelumnya.
4. Mengungkapkan dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.
Sebagai contoh:
Tulisan berjudul ”Pemberontakan Petani di Banten 1888” oleh Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan Indonesia pertama yang menggunakan metode multidimensional dalam penulisannya.
Penulisan sejarah Indonesia modern bertujuan untuk melakukan perbaikan dengan menggantiklan beberapa hal seperti:
· Adanya pandangan religio-magis serta kosmologis seperti tercermin dalam babad atau hikayat diganti dengan pandangan empiris-ilmiah.
· Adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan nationsentris.
· Adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar